Sebut saja namanya fajar lelaki kecil berusia 11 tahun yang sedang berjuang mengarungi hidup sebagai anak kecil yang terlahir dalam keluarga yang kurang beruntung, ayahnya bekerja serabutan yang artinya akan bekerja bila seseorang memintanya untuk bekerja entah menjadi kuli bangunan, buruh angkut atau hanya sekedar pengkupas buah kelapa dan ibunya yang tak jauh beda dengan ayahnya alias tak mempunyai keahlian apa apa hanya bisa menjual jasanya sebagai tukang cuci, pembersih kebun atau akrab disebut sebagai pembantu di perumahan mewah tempat di mana orang orang berekonomi kelas atas berada.
Bila penghasilan keduanya di gabungkan masih jauh rasanya dari kata cukup setelah di potong uang sewa rumah, uang makan, uang pendidikan dan kebutuhan lainnya, terlebih dalam keluarga ini terdapat tiga anak yang bersekolah yaitu fajar dan kedua adiknya sedangkan adiknya yang paling kecil masih belum cukup usia untuk bersekolah. pagi pagi sekali ia harus mencari tumpangan agar ia dapat menuju ke salah satu jalanan simpang empat di kota samarinda untuk menjalankan profesinya sebagai penjual koran, profesi yang ia lakukan secara terpaksa karena ekonomi keluarga yang kurang bersahabat. Sebagai anak yang paling tua beban tanggung jawab yang besar membuatnya tak bisa berdiam diri selain harus bekerja membantu mengais rejeki guna menambah pundi pundi rupiah untuk keluarganya.
Sesampainya di tempat biasa ia menjual koran, salah seorang kawannya yang lebih dewasa telah menyediakan koran untuk ia jual. Hanya beberapa jam saja ia berkecimpung di keramaian lalu lintas jalan raya simpang empat air hitam ini menunggu saat tiba lampu merah dan kemudian bergegas dengan penuh semangat menunjukkan berita terbaru dengan menyodorkan koran korannya dengan muka penuh harap tepat di kaca kaca mobil yang tertutup rapat dan pengendara pengendara motor roda dua, karena tepat pukul 09.00 wita ia harus segera pulang agar dapat pergi kesekolah tanpa terlambat, saat ini ia berada di kelas lima bangku sekolah dasar.
Uang hasil jerih payah nya menjajakan koran ia berikan kepada ibunya sebelum pada akhirnya ibunya akan kembali memberikan sedikit uang padanya sebagai saku untuk ia bersekolah, tak seberapa memang hasilnya namun usahanya patut di hargai untuk anak seusia dia tentulah ini menjadi suatu perjuangan yang luar biasa.
Aku tau latar belakang dan sedikit kehidupannya, karena saat itu pada hari minggu pagi saat aku akan menghadiri sebuah acara majelis di kelurahan mugi rejo samarinda utara tentulah jalan ini alias simpang empat air hitam menjadi rute perjalananku untuk menuju lokasi. Anak kecil itu sedang berdiri di pinggir badan jalan raya mengenakan topi berwarna biru, bajunya putih berukuran besar, dan celananya berwana hitam pendek tak cukup untuk menutupi dengkulnya hanya seper tiga dari pahanya saja dengan badan yang kurus anak kecil itu terlihat sangat cungkring kedua tulang pipinya terlihat amat jelas seoalah kulit tak cukup tebal untuk mampu menutupinya.
Jarak ku dengannya kurang lebih dua puluh meter ia melambai lambaikan tangannya ke setiap pengendara motor yang sedang melintas aku tak tau apa maksudnya suaranya tak terdengar kecuali hanya melihat lambaian tangannya saja. Lampu hijau hanya tinggal beberapa angka, menaikkan laju kendaraan adalah pilihan yang tepat saat itu, bila kembali terkena lampu merah tentu aku akan semakin terlambat untuk menghadiri acara majelis karena dari awal berangkat memang sudah terlambat. Saat melaju tepat di depannya aku mendengar suaranya “ om om boleh numpang gak??” bersuara sedikit berteriak. Perasaan terburu buru membuatku memilih untuk menghiraukannya namun semakin aku melaju menjauh darinya perasaan bersalah itu semakin menghantuiku tak bisa aku memaksakan diri melawan fitrah ku sebagai manusia yang pada dasarnya adalah untuk saling tolong menolong.
Entah atas perintah siapa tiba tiba kakiku memijakkan rem dengan kuat padahal aku telah sampai setengah lebih perjalanan untuk dapat terbebas dari simpang empat ini. Ohh sungguh ku sesali Hampir saja aku melakukan sebuah tindakan yang buruk demi kepentingan pribadi tanpa memedulikan kesusahan orang lain. “ ayo cepat” dengan refleks aku memanggilnya sembari memberikan isyarat ajakan dengan tangan, anak kecil itu berlari dengan wajah yang berseri seri sesekali membetulkan topinya yang hendak terlepas, salah satu tanggannya tetap memeluk koran. Disaat perjalannan bersamanyalah aku mendapatkan sedikit informasi mengenai kisah kehidupannya, niat untuk menaikkan laju kendaraan aku urungkan saat itu dan lebih memilih untuk berjalan pelan sembari mengobrol dan bertanya tanya tentang kehidupannya. Karena ia hanya minta di antar sampai simpang empat sempaja terlalu singkat rasanya bila aku memacu kendaraan dengan kecepatan tinggi.
Ku tanyakan padanya mengapa tak berhenti sekolah saja dan membantu kedua orang tua mencari nafkah, jawabannya membuatku terharu dalam hatinya telah tertanam keinginan yang kuat untuk menempuh pendidikan meskipun sedang berada di zona yang berat untuk menunjang pendidikan nya. Selain itu ia berkata, kedua orang tuanya juga menentang keras bila ia harus berhenti sekolah. Sungguh ini menjadi pelajaran yang berharga sekali bagi ku saat itu aku menjadi lebih mengerti bagaimana cara bersyukur kepada allah swt ia adalah salah satu dari banyaknya generasi bangsa yang sedang di coba dalam menempuh pendidikan.
Seiring berjalannya waktu akhirnya tibalah di mana tempat ia meminta untuk diantar, setelah ini ia akan membantu ayahnya untuk mengupas buah kelapa itulah jawaban darinya atas pertanyaan yang ku ajukan sebelum ia turun. Ku sempatkan merogoh kantong untung saja ada sedikt uang untuk ku berikan padanya “ambillah untuk kau buat jajan sekolah” anak kecil itu tersenyum gembira dan segera berlari menjauh pergi “makasih om” kata terakhir darinya sebagai penutup perjumpaan kami pagi itu.....
Komentar