SATU MALAM BERSAMA KUNTI
Baru saja aku mengistirahatkan tubuh di pinggir terotoar setelah melakukan beberapa jam perjalanan dari kota samarinda, terotoar spbu di kota balikpapan daerah samboja tepatnya. Handphone ku berdering, di layar handphone terpampang nama om john.
Halluu,,?
Iya haluu,, sahut ku..
Lagi dimana pak?
Kali ini aku ingin berbohong padanya dengan mengatakan aku sedang di rumah, karena ingin sepenuhnya aku menikmati liburku dan intinya adalah merahasiakan liburanku padanya. menelfonku pasti ia merencanakan sesuatu yang akan melibatkan ku di hari libur seperti ini.
Aku sedang di rumah pak. Ada apa?
Aku akan merencanakan pergi memancing malam ini bersama bang madon dan pak dedi. Mereka sekarang sudah ada di villa. Apakah bapak malam ini longgar untuk bisa ikut bersama kami?
Saat kami sedang berbicara via telepon hari masih sore menunjukkan pukul 17.30. aku dan delapan kawan ku baru saja mengisi bensin kendaraan kami masing masing kemudian bersantai sejenak di terotoar pinggir jalan depan spbu samboja.
Maaf pak, aku tak bisa ikut karena suatu hal. (aku masih merahasiakan yang sebenarnya)
Tiba tiba terdengar suara berisik dari telepon di seberang sana dan kemudian om ded yang bergantian berbicara.
Om sampean di mana? Gak bisa kah om ikut kami malam ini? Kurang lengkap rasanya kalau om gak ikut nih....
Setelah di rasa merahasiakan sudah tak mungkin aku lakukan, memilih jujur adalah keharusan.
Maaf om sekarang aku sedang berlibur di balikpapan, aku tak bisa ikut memancing malam ini.
Serius nah om!!! (nada bicara om ded menunjukkan ia sedang tak percaya terhadap apa yang aku ucapkan)
Iya om serius!! (kembali akau menegaskan)
Kenapa om gak bilang bilang jika sedang berlibur di balikpapan? sementara kami di sini sedang bingung merencanakan liburan kami. Sampai memancing adalah pilihan terakhir kami.
Jika memancing adalah pilihan terakhir mereka maka tak susah bagi ku untuk menebak siapa sebenarnya yang membuat keputusan pergi memancing tersebut kecuali bang madon. Dari kami ber empat bang madon lah yang sangat hobi memancing. Justru aku sengaja merahasiakan liburan ku (lirih dalam hatiku). Belum sempat aku membalas perkatan om ded, justru ia kembali berbicara.
Om sekarang dimana posisis?
Aku sudah di samboja om.
Ya sudah kalau begitu setelah solat magrib kami akan menyusul kesana.
Aku tak habis pikir kalau mereka benar benar akan menyusul ku malam nanti.
Benarkah om ded dan yang lain akan menyusul?
Iya om insyaAllah kami akan menyusul malam ini, apa yang sedang om rencanakan di balikpapan?
Rencana, aku akan mendirikan tenda dan bermalam di pantai.
Apakah kami perlu membawa kebutuhan logistik tambahan?
Bawa saja bila itu tak merepotkan
Baiklah,, nanti kami akan mengabari om lagi
Oke..
Tuuuuutt,,,, telepon terputus.
Ngomong ngomong soal “OM, PAK DAN BANG” sebenarnya usia kami tidak seperantaran, entah kapan dan dari mana awalnya, mungkin hanya karena sebuah kebiasaan yang membuat kami menggunakan kata om pak bang sebagai kata panggilan satu sama lain. Yang notabenenya tak sesuai dengan semestinya.
Hari semakin sore menjelang magrib di saat kami melanjutkan perjalanan menuju salah satu pantai di daerah samboja. Menurut penuturan ketua rombongan kami, membutuhkan waktu kurang lebih satu jam lagi untuk tiba di pantai. Akhirnya kami memutuskan berhenti di salah satu masjid yang terletak di pinggir jalan meskipun waktu magrib belum tiba. Lebih baik menghentikan perjalanan dan menunggu sejenak daripada melanjutkan perjalanan yang nantinya membuat kita terjebak di perjalanan sementara adzan magrib berkumandang. Menurut orang orang tua kita pun tak baik melakukan aktifitas di saat waktu magrib. Selain kaitannya dengan norma yang melanggar agama juga kaitannya dengan hal hal mistis yang kebanyakan logika tak dapat menerima. Lagi pula masjid yang kami jumpai ini adalah masjid terakhir karena menemui masjid setelah masjid ini perlu waktu tiga puluh menit perjalanan.
Aku menjumpai orang orang tua sedang duduk berjejer jejer di dinding dinding tembok teras yang mengelilingi masjid, mereka saling berbincang. Salah satu dari mereka menyapa ku dan kami mulai berbincang sembari aku turut serta duduk di tembok setinggi pinggul. Sementara kawan kawanku yang lain beberapa berbaring mengistirahatkan badannya di latar teras dan sebagian mengantre giliran masuk toilet.
Bapak lelaki tua yang usianya bisa di bilang rentan bertanya padaku apakah kami adalah mahasiswa. Aku menjawab benar bahwa kami mahasiswa. Pasti mahasiswa unmul ya tanyanya kembali padaku. benar pak sebagian besar kami adalah mahasiswa unmul sebagian kecilnya mahasiswa universitas swasta di samarinda.
“Mengapa bapak bisa tau?”
Karena sebagian besar pengunjung dari samarinda seusia kalian adalah mahasiswa, dan kebanyakan mahasiswa unmul. apakh kalian malam ini akan mendirikan tenda?
Bapak itu bertanya sambil sorot matanya sedikit tajam menatapku.
“Benar pak, malam ini kami akan mendirikan tenda di pantai tanah suram”.
Mendengar pantai tanah suram tiba tiba raut wajah bapak itu berubah sedikit terkejut tercampur ekspresi khawatir.
Orang orang di sekitar ku menatap aneh perbincangan kami. Semacam ada yang ganjil, terlebih pada diriku.
“Berhati hati lah jika kalian akan mendirikan tenda di pantai itu, pantai itu tak suka terhadap keramaian”.
Aku mengerutkan dahi, mencoba mengerti maksud ucapan bapak paruh baya itu.
“Seharusnya kalian tiba di pantai saat sore hari tadi agar kalian tak tersesat”
Bapak itu kembali berbicara yang membuatku kembali berfikir mencoba mengerti apa yang ia maksud.
Aku teringat sesuatu yaitu ketikat teman ku (tedy) membicarakan pantai tanah suram saat kami berada di dalam kelas kampus ku. Tak ada yang percaya terhadap apa yang di katakan tedy, hampir seluruh teman teman ku tidak percaya akan hal mistis dan apa pun itu yang sejenis dengan nya. Tedy bilang pantai itu tak seperti pantai lain nya. Hendak nya kita tak menganggap remeh pada seseorang yang telah memberi peringatan ketika kita akan bermalam di pantai itu. Hanya orang orang tertentu yang mendapat peringatan dari seseorang yang tedy sendiri tak tau identitas nya. Pengalaman tedy saat melanggar peringatan seseorang yang memperingatinya sebelum memasuki dan bermalam di pantai adalah tidak mengenakkan. Ia sering menjumpai hal hal yang aneh.
Adzan berkumandang, sementara aku belum menemukan apa yang di maksud bapak tua itu. Perbincangan kami tak dapat berlanjut, perhatian ku pada bapak tua itu pun luput sehingga setelah solat usai aku tak lagi melihatnya.
Perjalanan kami masih beberapa puluh menit lagi di tambah kembali singgah untuk menunaikan solat isya maka satu jam lebih adalah waktu yang harus kami lewati sebelum akhirnya tiba di pantai.
Pukul 21.00 persis kami tiba di pantai tanah suram. Darwin langsung memimpin perjalanan kami memasuki area pesisir pantai. Jalanan gelap sekali tak ada seberkas pun cahaya yang menerangi pantai. Ada, itu pun cahaya bulan yang terhalang oleh rerimbunan pohon pinus yang menjulang tinggi. Hanya cahaya lampu kendaraan menyorot lurus ke depan yang menerangi perjalanan kami memasuki pantai. Tak dapat dengan jelas kami melihat sisi kanan dan kiri dari atas kendaraan. Sekitar tiga puluh menit perasaan ku darwin hanya membawa kami berputar putar di daerah itu itu saja pasalnya berkali kali aku menjumpai tanda panah penunjuk jalan yang sama pada pohon yang sama pula. Meskipun ini hari libur, kondisi pantai sepi tak satupun ada tenda yang berdiri. Jika lau ada pasti aku melihat cahaya cahaya penerangan dari tenda salah satu pengunjung pantai. Nyata nya setelah lamat lamat memperhatikan kanan kiri jalan tak ada yang lain selain hamparan gelap yang tak mampu di tembus mata.
Darwin, apa kah kau mengerti kemana kamu membawa kami?
Wulan yang berjalan beriringian tepat di sampingnya bertanya pada darwin.
Iya lan aku mengerti kemana kita akan pergi, aku sedang mencari lokasi yang tepat untuk tenda kita malam ini.
Tapi mengapa dari tadi kita selalu melintasi jalan yang sama?
Ternyata tak hanya aku saja yang menduga bahwa kami hanyalah berputar putar di tempat yang sama. Wulan pun juga berfirasat demikian.
Sudah lah lan, tenang aja aku enggak akan membawa kamu ke tempat yang salah. Sebentar lagi kita akan sampai di tempat yang aku maksud.
Darwin sudah tiga kali melakukan camping di pantai ini, itu lah mengapa dari awal kami mempercayakan pada nya.
Aku melihat sekilas seekor anjing yang tertangkap sorot cahaya kendaraan ku. Melintas cepat kemudian hilang entah kemana. Aku menanyakan pada Kasen apakah ia melihat nya juga, jawaban nya ia tak melihat nya. Bagaimana bisa padahal ia melintas tepat di depan kami. Ah sudah lah mungkin aku yang salah lihat. Begitu pikir ku.
Kita sudah sampai!! Teriak darwin dari barisan depan. Kami pun menghentikan laju kendaraan kami tepat di bawah sebuah pohon besar yang lebih besar dari pohon pohon lain di sekeliling kami. Kami menanggalkan barang barang bawaan kami. Kasen bersiap dengan tenda nya, dua tenda yang akan kami dirikan malam ini. Satu berukuran besar dan satu lagi berukuran kecil. Waktu menunjukkan pukul Setengah sebelas malam di saat kami benar benar selesai mendirikan tenda sementara om john tak kunjung menelfonku, mungkin ia menunggu diri nya tersesat baru lah menelfon. Tak mungkin jika tersesat karena aku telah mengirimkan gambar peta melalui bbm yang aku gambar menggunakan aplikasi edit foto di handphone android.
Selagi menunggu kabar nya aku berinisiatif mencari kayu bakar untuk membuat perapian guna menghangatkan tubuh kami dari angin malam yang kian turun temperatur nya. Berbekal sebuah senter kecil aku berjalan mengitari rerimbunan pohon pohon pinus, mencari ranting ranting yang berjatuhan ke tanah sementara teman teman ku asyik bernyanyi bersama dengan memainkan sebuah gitar yang kami bawa dari rumah. Duduk bersama di atas sebuah terpal yang terhampar di atas pasir pantai. Berjalan perlahan mengarahkan selalu arah senter ke tanah, suasana sangat gelap sekali sangat di tuntut sebuah kehati hatian dan konsentrasi penuh pada arah jalan. Jarak pandang kiri kanan hanya kurang lebih lima meter, senter ku tak mampu menyorot lebih dari pada itu. Aku berjalan cukup jauh meninggalkan tenda setelah aku menyadari suara teman teman ku bernyanyi perlahan mulai tenggelam hilang dari jangkauan telinga. Ranting ranting yang aku peroleh sudah cukup lumayan untuk membuat perapian, mungkin bisa bertahan tiga sampai empat jam menyalakan api. Sesosok makhluk melintas berkelibat cepat di depan ku, entah makhluk apa aku tak mengerti sekalipun aku memainkan senter ku kesana lemari mencari makhluk itu tetap saja aku tak melihatnya. Bulu kuduk ku mulai merinding, firasat ku pun berkata aneh. Ingin berlari cepat namun tak bisa oleh karena jarak pandang terbatas dan juga beban kayu yang sedang aku bawa, risiko nya adalah jatuh tersandung.
Ternyata makhluk yang berkelebat di di depan ku tadi adalah seekor anjing, ia kembali muncul ketika aku berjalan menuju tenda. Tiba tiba saja ia berada di samping ku, sontak aku terkejut. Ranting ranting di tangan terjatuh berhamburan. Anjing itu adalah anjing yang sama seperti yang aku lihat ketika berkendara motor tadi. Seekor anjing hias yang aku tak mengerti jenis nya, ia pendek memiliki bulu agak panjang. Jenis ras anjing piaraan yang umum nya di pelihara oleh wanita. Sempat satu kali menggongong ketika aku terkejut dan menjatuhkan ranting ranting di tangan ku kemudian ia lari menjauh. Perasaanku sedikit tenang setelah Mengetahui bahwa makhluk yang berkelebat itu adalah seekor anjing.
Namun tak lama ia kembali muncul dengan tingkah yang tak wajar, aktif melompot lompat seakan ingin mengjak ku bermain. Tak ku hiraukan tingkah anjing itu sehingga aku terus saja berjalan dengan hati hati menuju tenda. Anjing itu masih dalam tingkah yang sama setelah beberapa langkah aku menjauh darinya. Kali ini tingkahnya di tambahi dengan gonggongan yang di lakukannya berkali kali sembari sesekali menggali gali tanah seolah ingin menunjukkan sesuatu pada ku dengan mata yang terus menatapku. Anjing itu pergi menghilang dalam gelap dan tak lama kemudian kembali muncul menghadang langkahku dengan membawa selendang berwarna merah di mulutnya. Aku tak mengerti maksudnya justru bulu kuduk ku semakin tegang berdiri, selendang siapakah yang di bawa anjing itu. Entah atas perintah siapa, dengan refleks aku melempar anjing itu dengan salah satu ranting di tangan kemudian aku berlari meninggalkannya. Tergopoh gopoh dengan susah payah mata memandang jalan berpasir penuh akar akar pinus yang timbul di permukaan pasir. Ia mengejarku namun hanya beberapa langkah setelah aku berlari.
Aku menjumpai kasen sesampainya di tenda.
Ada apa dengan mu? Tanya kasen yang merasa heran dengan nafasku yang tersengal sengal.
Tak apa sen,,, aku telah memeperoleh cukup banyak kayu bakar, cepatlah kau membuat perapian untuk kami.
Oke baiklah... kasen menyusun kayu bakar itu membentuk perapian di depan tenda kami.
Aku memncoba menanyakan sesuatu pada kasen tentang suatu hal yang aneh di pantai suram ini. Barangkali kasen pernah merasakan apa yang seperti aku rasakan barusan ketika berkali kali menjumpai seekor anjing. Kasen menjawab selama ia berkunjung ke pantai suram ini ia tak pernah menjumpai sesuatu hal yang aneh justru ia merasa aneh akan tingkah ku. tingkah ku? apa yang kau maksud sen? aku tak mengerti maksud kasen mengenai ke anehan tingkahku. Kasen menuturkan bahwa ia melihat tingkahku yang aneh saat kita masih di masjid, magrib tadi. Firasatku mulai terhubung oleh orang orang yang juga menatapku aneh saat aku sedang berbincang dengan bapak tua berusia rentan magrib tadi. Aku menanyakan hal ini pada kasen mengenai berbincangan ku dengan bapak tua itu, namun jawaban kasen sungguh mengejutkan. Kasen justru tak melihatku sedang berbincang dengan seseorang magrib tadi kecuali aku hanya berbincang sendiri. Benarkah demikian sen? iya benar jawab kasen. Sepertinya aku harus memepercayaimu sen, aku memandang orang orang jugalah menatapku aneh magrib tadi.
Mungkin ini yang di maksud oleh tedy mengenai sosok orang yang ia sendiri tak tau identitasnya. Yang aku takutkan justru akulah orang tertentu yang mendapat peringatan yang di maksud oleh tedy. Pantas saja aku tak menjumpai bapak tua usia rentan itu selepas aku melaksanakan solat magrib. Bulu kuduk ku kembali berdiri mengingat anjing yang tadi sering muncul di hadapan ku sementara tak ada yang bisa melihatnya kecuali aku.
Malam semakin gelap, cahaya bintang bintang di langit dari waktu ke waktu secara satu persatu menghilang. Seakan langit sedang mendung. Kasen telah berhasil membuat perapian sementara aku masih merenungi, mencari teka teki tentang hal ganjil yang baru saja aku temui. Ingin aku menanyakan hal ini pada darwin yang telah berkali kali mendirikan tenda di pantai tanah suram ini namun sepertinya momentnya kurang tepat karena ia sedang asyik bermain gitar dengan wulan di sampingnya dan yang lain turut mengimbangi genjrengan suara senar gitar yang di mainkan oleh darwin.
Apa yang sedang kau lamunkan?
Tak ada sen...
Bagaimana dengan temanmu, apakah ia jadi menyusulmu kemari?
Oh iya sen aku lupa... kembali aku teringat oleh om john dan kawan kawan, mengapa sudah pukul dua belas malam iya tak kunjung datang. Padahal ia berencana berangkat setelah solat magrib.
Mungkin iya tersesat
Ah tak mungkin, tutur ku. lagi pula aku tela mngirimkan gambar peta padanya.
Tapi buktinya sampai sekarang ia belum tiba.
Iya juga pikir ku. biarlah saja sen, jika lau tersesat pasti ia akan menelfonku.
Aku mengeluarkan handphone dari kantongku hanya sekedar memastikan bahwa indikator sinyal masih terdapat di sana. Beberapa menit kemudian saat aku dan kasen masih duduk di dekat perapian handphone ku berdering. Ternyata om john yang sedang memanggil.
Hallluuu.... di mana posisis om john sekarang?
Kami sedang tersesat pak...
Hah... tersesat, apa om tak bisa membaca peta yang aku berikan?
Kami sudah memasuki kawasan pantai namun setelah beberapa menit berkeliling tak menemukan tenda bapak.
Baiklah tunggu saja di pintu masuk pantai pak, aku akan menjempt mu.
Tuuuuttt.... sambungan handphone terputus.
Tunggu aku sejenak di sini sen, aku akan menjemput mereka.
Apakah kau tak membutuhkan teman?
Aku rasa tidak sen, biar aku sendiri saja yang menjemput mereka. Jagalah saja api untuk tetap menyala agar aku tak kesulitan di saat kembali nanti.
Oke baiklah,, hati hati di jalan.
Dengan mengendarai sebuah motor aku beranjak meninggalkan tenda, menjemput om john dan kawan kawan. Suasana pantai jadi semakin gelap namun sorot cahaya dari lampu motor cukup baik sebagai penerangan. Dengan ingatan yang lupa lupa ingat aku menebak nebak arah menuju keluar pantai sembari bernyanyi lagu lupa lupa ingat oleh kuburan band. Tak terlalu sulit menemukan om john dan kawan kawan yang sedang menunggu di gerbang masuk pantai tanah suram setelah melakukan tigapuluh menit perjalanan. Tanpa basa basi aku langsung menuntun arah laju kendaraan mereka menuju tenda, berjalan beriringan dengan mereka mengekor di balakang. Waktu telah melewati batas pertengahan malam, suasana semakin mencekam. Nahasnya aku kehilangan arah, berkali kali aku merasa selalu melewati jalan yang sama. Sementara tetesan tetesan air mulai berjatuhan dari langit.
Gi mana ini om, apakah masih lama menuju tenda? Om ded bertanya dengan nada tak sabar.
Aku mencoba meyakinkan padanya bahwa sebentar lagi kita akan sampai di tenda. Namun setelah beberapa menit kami berkendara aku tak bisa lagi menyembunyikan kekhawatiranku menegenai arah jalan yang tak lagi aku ingat. Hujan semakin deras kami pun memutuskan berhenti di salah satu gubuk yang kami jumpai. Gubuk itu cukup luas menaungi kami berempat.
Cahaya kilat berkelebat cepat terlukis dengan jelas di langit berwarna hitam pekat. Suara suara geluduk terdengar keras menggelegar memecah kesunyian malam. Membuat kami semakin tak berkutik kecuali hanya bisa berdiam diri dalm sebuah gubuk. Temperatur udara kian rendah. Hanya bisa membayangkan bila saja kami telah sampai di tenda dan menikmati hangatnya perapian.
Waktu menunjukkan pukul 01.00 malam, aku, om john, bang madon dan om ded masih terjebak dalam gubuk. Tiba tiba saja kembali aku melihat anjing itu di bawah derasnya hujan. Sesekali nampak jelas oleh bantuan cahaya kilat.
Lihat om ded. Apa kau melihat anjing di depan kita? Aku menunjuk ke arah anjing itu berada.
Anjing??? Jangan bercanda om, aku takut anjing.
Iya aku melihatnya, om john menyahut.
Benarkah om bisa melihatnya.
Iya benar, lihatlah ia berjalan ke arah kita.
Om ded ketakutan, spontan ia mengmbil batu yang ada di bawahnya kemudian sesaat anjing itu nampak jela terlihat oleh cahaya kilat dengan kut ia melemparkan batu itu ke arah anjing yang berusaha mendekat. Sementara bang madon telah lebih dulu mengntisipasi dengan meloncat naik ke atas gubuk, ia jugalah takut dengan anjing.
Buukkkk,,,,,, lemparan batu om ded tepat mengenai badan anjing itu, membuatnya berlari menjauh sembari menggonggong dengan nada ke sakitan. Tiba tiba saja suasana malam semakin mencekam. Angin berhembus kuat, pohon pohon bergoyang kesana kemari membuat ranting rantingnya berguguran. Suara petirpun kian menggelegar. Nampak ada yang sedang murka akibat dari seekor anjing yang telah kesikitan di lempar batu.
Kilat kilat semakin aktif berkelebat. Kami mengamati suasana sekeliling kami. Bang madon tiba tiba saja melihat sesuatu yang aneh di balik pohoh sebelah sisi kiri dari gubuk kami berada. Wajahnya ketakutan, sementara kami tak mengerti apa yang sebenarnya baru saja ia lihat.
Bang, bang,,,,, om john mencoba menyadarkan tatapan kosong bang madon sembari menggoyang goyangkan tubuhnya.
Bang!!! Kenapa bang??.
Tak papa.. dengan cepat bang madon tersadar. Kami melihatnya aneh. Aku melihat keringat jagung mengalir dari sisi kanan kiri dahinya.
Belum selesai rasa penasaran ku dengan bang madon malah justru sekarang om ded yang bertingkah aneh dengan tanpa henti hentinya memanggil manggil kami.
Om pak bang, om pak bang, om pak bang, om pak bang... begitu saja seterusnya. Berbeda halnya dengan bang madon yang bisa menutupi wajah ketakutannya om ded justru sebaliknya. Wajahnya pucat macam orang habis melihat sesuatu yang mengerikan.
Ada apa om.. ada apa??? Aku bertanya padanya.
Namun tetap saja ia tiada henti memanggil manggil kami. Om pak bang, om pak bang.......
Kenapa??? Sedikit kesal kembali aku bertanya, namun tetap sama. Justru aku mendapati wajahnya sedang menangis ketakutan saat ia berpaling ke arah ku.
Bang madon sibuk mengamati sekeliling kami, keringat jagung masih aktif mengalir dari dahinya.
Ada sesuatu om, ada sesuatu.
Iya tapi apa, mengapa om tak mengatakannya saja!!!?
Om ded menatap bang madon, bermaksud agar bang madonlah yang menjelaskan kepadaku dan om jhon. Namun bang madon tak berkeinginan menjelaskannya justru mengembalikan isyarat itu ke om ded.
aku dan om john tak mengerti apa yang sebenarnya sedang mereka alami. Kami berempat masih berkumpul dalm naungan gubuk, tak dapat pergi kemana mana. Cahaya kilat terus saja berkelebat.
Duuuoooorrrrrr...... suara petir nyaring sekali, memekakkan telinga. Spontan kami menutup telinga dengan masing masing telapak tangan kami. Terdiam merunduk. Om ded kembali bertingkah aneh. Om pak bang, om pak bang. Berkali kali memanggil kami. Aku tetap saja terdiam merunduk bermaksud tak lagi menghiraukannya. Perlahan om ded memindahkan posisinya ke bagian belakang dari kami, mendesal desal tubuhku. Ada apa om?? Kembali tanya ku padanya.
Di depan kita om di depan kita...
Apa maksud mu di depan kita???
Perlahan aku mengangkat kepala ku dan betapa terkejutnya aku ketika mendapati sosok wanita berambut panjang dengan pakaian putih yang melembreh ke tanah. Mukanya hancur menyeramkan. Sekuat tenaga aku berteriak melawan mulutku yang gagap.
Han han han han hantuuuuuuuuu...... mendesal desal bergerak ke bagian belakang. Giliran om john di bagian depan juga terkejut bukan main. Berteriak lebih kencang, berusaha merebut posisi bagian belakang. Hingga akhirnya kami terpojok di sudut bagian belakang gubuk. Om ded menagis sejadi jadinya, bang madon menahan rasa takut membuat bibirnya bergetar hebat. Om john menutup rapat matanya sementara aku menundukkan pandangan sembari melihat pakaian putih itu terus berjalan mendekat.
Om pak bang,,, om pak bang... dia mendekat, dia mendekat. Kita harus lari kemana? Entah aku bingung apa yang harus akau lakukan. Anjing itu muncul lagi, mengonggong gonggong dengan hebat berlari menuju kami. Bang madon memeberanikan diri sekalipun badannya bergetar hebat ia berdiri di depan kami mencoba melawan hantu itu.
Apa yang kau inginkan dari kami haahh? Kami tak mengganggu mu tapi mengapa kau mengganggu kami? Mengcung acungkan sebuah ranting di tangn kanannya bermaksud mengancam yang bisa saja ranting itu di lemparnya.
Siapa kau sebenarnya???
Dia hantu bang, hantu... om ded berteriak.
Iya aku tau dia hantu!!! Hantu banyak jenisnya om!
Dia kunti, pasti dia kunti, aku tak akan salah. Coba tengok punggungnya utuh tak berlobang.
Om john benar dia adalah kunti. Aku mebenarkan perkataan om john. Jika lau punggungnya bolong sudah pasti ia adalah sundel bolong. Tegasku.
Bang madon mengangguk paham. Baiklah apa mau mu kunti? Apa? Katakan. Mengapa kau terus bergerak mendekati kami?
Jarak kami semakin dekat dengan kunti, kurang lebih sepuluh meter. Terus saja kunti bergerak tanpa menghiraukan ucapan ucapan dari bang madon. kami kebinggungan jika lau saja si kunti menerkam kami. Bang madon semakin bergetar, aku bisa merasakan getaran hebat dari kaki nya. Namun kali ini possisinya se akan siap berlari.
Aku, om john dan om ded pun turut beranjak berdiri siap mengambil ancang ancang. Sementara air hujan tetap deras mengguyur area luar dari gubuk tempat kami bernaung. Anjing itu mengekor di belakang kunti.
Sialnya mengapa dengan refleks bang madon melempar kuat ranting di tangannya ke arah kunti, namun yang kami lihat meskipun ranting itu tepat sasaran tapi ia menembus badan kunti. Kunti semakin marah, laju geraknya menghampiri kami pun semakin cepat dengan wajah hancurnya yang semakin menyeramkan. Lantas terbirit birit kami berlari berhamburan, terhuyung huyung oleh karena medan berpasir sekaligus becek akibat guyuran air hujan. Berlari tak tau arah, berpencar satu sama lain sementara suasana malam gelap. Beruntunglah sekelebat kilat yang sesekali muncul menerangi pelarian kami. Aku dan om john berhenti di bawah pohon besar yang cukup memberikan naungan dari air hujan, bang madon berhenti pada sebuah gubuk yang tak jauh beda bentuknya dengan gubuk awal yang kami tempati tadi. Smentar om ded justru kebingungan kemana harus pergi, aku tak dapat melihat keberadaannya kecuali hanya suaranya yang berteriak teriak memanggil manggil kami.
Om pak bang, om pak bang, om pka bang. Suaranya menunjukkan ia berada di tanah lapang di tengah tengah dari kami. Dengan suara lirih aku memanggilnya, berharap kunti ta mengetahui keberadaanku dan om john yang sedang bernaung di bawah pohon.
Om kemarilah, hey, hey.
Om pak bang om pak bang... ia menjawab panggilan kami dengan suara yang lirih pula. Namun rasanya suaranya berbed. Mengapa suara itu datang dari arah belakang kami. Membalikkan kepala secara perlahan ternyata kunti berada tepat di belakangku dan om john. Uwaaaaaaaa...... kuntiiiiiiiiii.... terbirit birit kami berlari, tangan ku tak sengaja meraih badan om ded. Dari dua sekawan kini tiga sekawan terbirit birit. Sialnya anjing itu turut mengejar pelarian kami.
Entah apa yang pada akhirnya membuat kami kembali berkumpul dalam sebuah gubuk, tanpa sengaja kami berlari menuju gubuk yang di dalamnya bang madon merinding ketakutan. Saat aku menyentuh badannya ia terkejut mengira kunti yang sedang menyentuhnya. Tenang bang tenang, aku rasa kali ini kita sedikit aman berkumpul di gubuk ini. Badan kami basah kuyup menggigil kedinginan.
Ini semua salah mu om john, andai saja kau tak mengajak kami menyusul ketempat ini pasti tak akan begini jadinya. Om ded kesal menujukan semua kesalahan pada om john.
Sudah lah om ded, percuma kita saling menyalahkan. Lebih baik kita mencari jalan keluar untuk malam ini.
Jalan keluar katamu? Tak ada jalan keluar kecuali menunggu pagi. Apa kau mau menunggu di temani kunti?
Sudahlah sudah,,, baiklah ini memang salah ku. aku yang mengajak kalian menyusul pak oding ke tempat ini. Menunggu pagi rasanya masih lama. Apa yang kalian ketahui tentang pantai ini? Setidaknya kita bisa mengungkap misteri dari kunti. Om john menatap ku, ia berfirasat aku mengetahui sesuatu tentang pantai tanah suram ini.
Tanpa di perintah aku jelaskan semua pada mereka tentang hal hal aneh yang telah aku jumpai di pantai ini mulai dari peristiwa bersama bapak tua paruh baya magrib tadi, penjelasan ke janggalan oleh tedy kawan ku sampai berkali kali aku menjumpai anjing yang telah muncul di depan kami.
Bang madon menanggapai dengan apa yang telah aku jelaskan. Ia pun pernah mendengar ke janggalan pantai tanaah suram ini sebelumnya dan apa yang aku jelaskan sama seperti apa yang pernah ia dengar.
Mungkin kunti masih berada disini!!!
Ssstttt... lirihkan suara mu om. Mengapa kau sebut nama kunti? Bagaimana jika dia mendengarnya. Om ded konyol menanggapi.
Apa maksud mu tentang kunti masih berada disini? Aku tak mengerti maksud ucapanmu om john.
Jasadnya....
Jasadnya kau bilang?
Iya jasadnya. Mungkin ia belum tenang di alam arwahnya.
Dua tahun yang lalu ada kejadian pembunuhan di pantai tanah suram oleh seorang lelaki terhadap wanita muda dengan seekor anjingnya. Pembunuhan itu terjadi di malam hari saat suasana pantai sepi dari pengunjung. Pembunuhnya tak lain adalah kekasih dari wanita itu sendiri. Motifnya adalah sebuah kasus peselingkuhan yang di lakukan oleh si wanita kemudian lelaki itu mengajak wanita itu beserta anjingnya berlibur ke pantai tanah suram ini di malam hari. Di malam itulah pemuda itu menghabisi wanita itu dengan sebuah pisau kecil yang ia selipkan di pinggannya. Anjing wanita itu sempat melawan pemuda itu namun nahasnya ia juga ikut terbunuh. Malam itu juga pemuda itu mengubur keduanya di area pantai tanah suram. Tanah tempat mengubur wanita dan anjing itu tak jauh dari gubuk yang kami tempati sekarang. Satu satunya saksi atas pembunuhan itu ialah bapak bapak tua paruh baya yang kala itu hanya melihat kejadian itu tanpa bisa menolong karena kondisi fisiknya yang tak mendukung. Bapak tua itu merupakan penjaga pantai. Namun sayangnya saat ke esokan harinya hendak melaporkan kejadian pembunuhan yang ia saksikan kepada pihak kepolisian justru ia lebih dulu meninggal di pagi hari setelah beberapa saat terbangun dari tidurnya. Akhirnya pembunuhan itu tak seorangpun yang mengetahuinya. Dan bapak tua yang aku jumpai di masjid kala magrib adalah penjelmaan dari bapak tua penjaga pantai suram ini. Ia seringkali memberi peringatan pada calon calon pengunjung tertentu yang hendak bermalam di pantai tanah suram hendaknya tak tiba di pantai saat matahari sudah terbenam. Karena keberadaan kunti yang bisa saja menghantui beserta anjingnya. Tak satupun dari kami mengetahui tentang sejarah itu.
Kau benar om john, bisa saja demikian. Tapi jikalau benar demikian apa yang bisa kita perbuat?
Entahlah aku tak tau. Setidaknya kita merasa tenang sampai saat ini kunti tak lagi nampak di hadapan kita.
Benar yang di ucap om john. Kita hanyalah menunggu pagi dalam gubuk kecil ini.
•
Apa yang sedang kau lakukan om ded. Iya berusaha membuka salah satu papan lantai gubuk.
Aku mau pipis om.
Ya elah kenapa harus pipis di situ. Keluar lah dari gubuk ini jika kau ingin pipis.
Om ded tetap berkehendak pipis melalui lubang lantai yang salah satu papannya berhasil ia copot. Bersiap siap ambil posisi mengeluarkan anu nya. Belum sempat keluar sepenuhnya betapa ia terkejut ternyata kunti berada di bawah lantai gubuk kami. Hanya om ded yang melihat kepala kunti tepat di bawah lubang lantai yang tadi papannya ia copot. Kepala om ded terhantup keras ke kayu atap gubuk saat ia terperanjat berdiri. Merintih kesakitan sembari memegang kepalanya. Sementara kami tak kalah panik berteriak. Segera aku mengembalikan papan itu pada lubang lantai. Kami berempat kembali tersudut di pojok gubuk. Bernafas tersengal sengal ketakutan.
Om pak bang, om pak bang, om pak bang,,, lirih suara kunti memanggil kami dari bawah lantai gubuk. Suasana hening, perlahan dengan jantung berdetak hebat kami mengamati sekeliling kami. Bang Madon menatap ku dengan isyarat bukalah papan lantai menengok keberadaan kunti. Aku tak berani, aku menatap om john ia pun juga geleng geleng kepala. Akhirnya sepakat kami membukanya bersama sama. Satu dua tiga Om john memberi aba aba. Hitungan ke tiga kami tak melihat kunti di sana. Kami hanya merasa kepala kami terkena tetesan tetesan air akibat atap gubuk yang bocor.
Tunggu sebentar.... Bang Madon mengusap kepalanya, merasa aneh dengan air yang menimpa kepalanya. Setelah kami melihat telapak tangan bang madon berwarna merah. Itu bukan air, tapi... Tapi... Darahhhhh!!!! Kami berteriak sembari menatap satu sama lain. Om ded tak bisa menahan dirinya untuk menangis ia yang paling ketakutan. Di atas om di atas... Kami tak berani menengok ke atas.
Beberapa helai rambut bergantung menimpa kepala kami. Segera aku menyapunya dengan tangan namun rambut itu tetap kembali di atas kepala. Tak ada pilihan lain kami pun berhamburan turun dari gubuk memasuki kolong gubuk. Berharap tak lagi melihat kunti. Namun kunti juga lah tak mau berhenti menampakkan diri, kami melihat keberadaan kunti sepuluh meter dari kolong gubuk. Hanya pakaian putih yang kami lihat sementara wajahnya tak nampak. Perlahan pakaian putih itu bergerak kian mendekat. Di belakang kami anjing itu kembali muncul, ia tak mencoba menghampiri kami melainkan meloncat loncat seolah ingin mengajak bermain.
Sudah beberapa kali aku menjumpai anjing itu bertingkah demikian. Kali ini aku ingin mencoba mengikuti mau nya.
Om pak bang... Aku akan pergi mengikuti anjing itu. Salah satu dari kalian apakah ada yang ikut dengan ku?
Untuk apa kau mengikuti anjing itu? Bang madon bertanya pada ku.
Lihatlah anjing itu se olah memanggil kita.
Tapi kau tau sendiri kan kemunculan nya selalu bersamaan dengan kunti. Jangan jangan kau akan di jadikan tumbal oleh anjing itu.
Tidak bang. Jika lau ia berniat buruk pada ku pasti sudah dari tadi ia melakukan nya.
Sssttt... Jangan berisik, kau tengok kunti kian mendekat. Kemana kita harus berlari. Om ded nampak kesal dengan perbincangan kami yang berpotensi mengundang kedatangan kunti. Padahal sekalipun kami tidak berbincang kuntipun tau keberadaan kami. Sekaligus di tengah berisik nya kami aku membuang kentut secara diam diam. Aroma nya berbau tak sedap. Suasana semakin kacau saat kami saling tuduh menuduh.
Kalian tuduh aku kentut? Mana mungkin aku berbicara sambil kentut. Sebuah kalimat pembelaan dari ku.
Hujan masih deras mengguyur, suasana malam pun pekat. Air air dari atap gubuk berjatuhan di tanah sekeliling tempat kami tiarap bersembunyi di kolong gubuk yang memiliki jarak setengah meter antara tanah dengan lantai gubuk. Tak ada pilihan lain aku harus mengikuti anjing itu. Merangkak Keluar gubuk melalui kolong belakang aku meninggalkan mereka bertiga di bawah kolong. Berlari di bawah guyuran hujan mengikuti langkah demi langkah anjing yang menuntunku ke arah semak belukar. Celaka nya om ded, bang madon dan om john justru berlari menubruk ku dari belakang, kunti mengikuti mereka bertiga. Sesaat kunti menghilang sesaat kemudian muncul di balik pohon dengan menampakkan wajah buruk yang setengahnya tertutup oleh rambut panjang nya. Ia berkelebat berpindah dari satu pohon ke pohon lain. Kami terperangkap, berkumpul dalam tanah yang lapang di kelilingi oleh pepohonan.
Bagaimana ini om john tak ada hentinya kunti mengikuti kita.
Sudah lah, mengapa dari tadi kau menangis. Palingkan wajahmu dari ku pak ded. Daripada kau menangis bacalah saja surat yasin, bukanlah kau hafal.
Dengan menutup mata dan badan menggigil Om ded tak henti hentinya membaca surat yasin dengan bibir nya yang bergetar. Memberi dampak kepada kunti, wajahnya murka berubah macam orang kesakitan. Kunti merasa tubuhnya terbakar.
Teruskan om ded teruskan, lafalkan lebih keras lagi.
Om john bang Madon kalian bantu om ded, bacalah ayat ayat Al qur'an juga jikakau bisa. Aku akan kembali mengikuti anjing itu.
Setelah melewati semakbelukar aku menjumpai sampah sampah berceceran, sepertinya tempat ini adalah tempat pembuangan sampah. Anjing itu terhenti di tempat penuh sampah ini. Tingkah nya macam kebingungan, tiada henti kaki nya menggaruk garuk tanah. Dengan sebuah kayu aku mencoba membantu menggali tanah tersebut sampai kedalaman setengah meter terkejut nya aku ketika menemukan organ tangan manusia. Bulu kuduk ku berdiri, tangan ku bergetar tak mampu melanjutkan menggali tanah. Aku ingin kembali kearah bang madon om ded dan Om john namun anjing itu mencegah ku dengan menggonggong tiada henti di hadapanku memberi isyarat agar aku melanjutkan menggali. Tak dapat aku menolak, dengan rasa sangat takut terpaksa aku melakukan nya hingga aku menjumpai jasad wanita dan seekor anjïng secara penuh. Kemudian sebuah pisau yang belum sempat aku mengambilnya anjing itu lebih dulu mengambil dengan mulutnya memberikannya pada ku. Firasat ku berfikir wanita dan anjïng itu adalah korban pembunuhan. Ya. Menurutku inilah misteri yang berkaitan dengan kunti, tak lain tak bukan adalah arwah dari mayat wanita yang baru saja aku temukan. Arwahnya tak tenang karena tak Satupun sebelumnya seseorang menemukan jasadnya kemudian ia dapat dikuburkan secara layak. Dari bentuk mayat yang menyisakan sedikit daging aku memperkirakan mayat ini sudah dua sampai tiga tahun terkubur. Sudah cukup menduga duga saat nya mengakhiri bayang bayang kunti malam ini.
Lantas aku segera berlari kembali menemui bang madon, om john dan om ded dan kunti pasti nya. Sesampainya pada mereka bertiga aku melihat kunti masih dalam keadaan tersiksa kepanasan oleh karena lantunan ayat ayat al'qur'an oleh mereka bertiga.
Sudah om pak bang, hentikan membaca al qur'an kalian. Sudah cukup!!! Aku akan mengakhiri malam buruk kita.
Mereka berhenti melantunkan ayat ayat Al qur'an, kuntipun terbebas dari siksa. Namun kunti justru semakin murka terhadap ulah kami. Mulutnya mengancam mengangak lebar lebar, matanya terbelalak, kedua tangan nya terangkat setinggi bahu semacam ingin mencekik kami. Ia terbang dengan kecepatan yang cukup tinggi ke arah ku ingin mencekik leher ku tapi aku segera menundukkan. Demikian juga hal nya dengan om john di barisan dua sampai om ded di barisan belakang juga menunduk membuat kunti tak berhasil satu pun mencekik kami. Kunti berbalik badan melakukan hal yang sama dengan hasil yang sama pula, kedua kali nya kami selamat. Hendak melakukan yang ke tiga kali namun kunti ketakutan saat aku menghadang nya dengan pisau yang aku peroleh dari menggali kubur tadi.
Cukup kunti cukup!!!! Aku telah menemukan jasad mu. Aku tau arwah mu sedang tak tenang. Tapi mengapa kau selalu mengganggu kami?
Kunti hanya Terdiam melotot menatap kami. Wajahnya tetap murka.
Kami akan menyelamatkan mu kunti...
Apa yang aku ucapkan tak memberi perubahan pada sikap kunti, justru ia semakin marah pada kami. Kunti kembali terbang berusaha mencekik salah satu dari kami. Ironinya tubuh ku tak bisa refleks menghindar saat kunti berhasil mencekik leher ku. Semakin kuat ia mencekik ku sampai kaki ku terjinjit jinjit dan sedikit kesulitan bernafas.
Bang Madon meraih kayu besar di dekat nya begitupun dengan om ded dan om john yang mengambil tanah dalam genggamannya.
Jangan bang jangan!!! Berusaha aku menolehkan kepala ke belakang guna mencegah niat bang madon yang hendak memukul kuat kunti.
Mengapa kau mencegah ku, kau akan di buat mati oleh kunti.
Biar saja bang, biarlah aku mati karena kunti bila ini maunya.
Apa yang kau bilang!!!! Bang Madon tak dapat mencegah tangannya menghempaskan balok.
Di saat kesulitan bernafas dan badan ku yang mulai lemas Aku menangkapnya dengan tangan kanan ku. Sehingga balok tak mengenai kunti.
Perlahan aku melihat Wajah kunti terhapus dari raut menyeramkan.
Kunti, percaya lah pada ku. Aku akan membuat arwahmu tenang. Aku berjanji setelah ini jika kau membiarkan kuhidup aku akan mengungkap misteri jasadmu, aku akan membalaskan dendam mu pada orang yang telah membunuh mu. Percayalah kunti. Air mata ku tiba tiba saja mengalir. Aku merasa empati pada kunti yang jasad nya tak satupun orang menemukan nya selama beberapa tahun. Om john bang madon dan om ded mengerti apa yang aku rasakan terhadap kunti. Mereka turut menangis sedih sembari berjalan mendekat di belakang ku bersama sama tanpa rasa takut lagi kami menatap dalam penuh empati terhadap kunti. Kuntipun demikian, wajah nya yang menyeramkan perlahan berubah semakin baik menunjukkan wajah seorang gadis cantik berambut panjang. Air mata mengalir membasahi pipinya yang putih bersih dari kedua matanya. Aku merasa ada perubahan signifikan dari amarah kunti. Cengkeraman tangannya perlahan melunak, kakiku perlahan sempurna memijak bumi.
Kau percaya pada kami kunti?
Kunti mengangguk setelah sebelum nya melepas sepenuhnya cengkeraman tangannya di leher ku.
Sekarang pergilah kunti, istirahatlah dengan tenang di alam mu. Berjanji lah pada ku kau tidak akan lagi muncul dan mengganggu pengunjung di pantai tanah suram ini.
Perlahan kunti terbang menjauh meninggalkan kami dengan air mata yang terus mengalir di pipi nya. Tubuh dan wajah nya menghilang dalam gelap malam. Menghilang sembari membawa anjing dalam gendongannya. Anjing itu setia menemani kunti dari semenjak mereka sama sama hidup hingga menjadi arwah sekalipun.
Pukul menunjukkan angka 03.30 saat kami benar benar berpisah dengan kunti, saat terakhir kali kami mengusap air mata kami.
Om pak bang,,,, berakhir sudah cerita kita malam ini. Semoga kunti tenang di alam sana. Kami menatap satu sama lain. Hati kami masih terbawa sedih oleh kisah hidup yang dialami kunti.
Ketika pagi tiba kita harus melapor pada pihak ke polisian. Dan memindah jasad kunti di tempat yang layak.
Baik om......
Selesai.........
Komentar