Langsung ke konten utama
Pagi tak seperti biasanya hati
ini di selimuti oleh perasaan gelisah namun tak terlewatkan sesekali juga amat
terasa bahagia. Burung burung gereja pun tak seperti biasanya seharusnya pagi
pagi sekali ia berkicau kicau sesuka hati menyambut datangnya hangat mentari,
berterbangan kesana kemari menghambur halaman sekolah mematuk matukan paruhnya
ke tanah mencari sisa makanan yang ada. Silih
berganti datang saling menghampiri menari nari antara satu dengan yang lain, mungkin
itu cara mereka untuk saling menyapa. Namun pagi ini mereka lebih memilih untuk
berdiam diri bertengger memenuhi lobang celah celah tepi genteng bangunan
sekolah tua peninggalan belanda ini. Mengembangkan bulu mereka sehingga mereka
tampak menggembung, matanya lesu seperti tak memiliki semangat. Bunga bunga pun
berguguran dari pohon kamboja besar yang menjulang tinggi di depan halaman
sekolah. Ada apa dengan mereka? nampak sesuatu yang aneh terjadi pada pagi hari
ini.
Satu per satu kawan ku datang ahmad medi romli selalu datang lebih pagi setelah aku, meskipun rumahnya bisa
di bilang paling jauh diantara rumah kawan kawan ku yang lain. Bila tak di
antar ayahnya ia biasa berjalan kaki menuju ke sekolah bersama kawan kawannya
yang beralamatkan rumah sama dengannya. Pukul 06. 55 sekolah biasanya telah
ramai, siswa siswi sekolah dasar negri 1 sepanjang bersiap siap di depan kelas
dan ketika bel berbunyi mereka akan segera berbaris di depan kelas. Bel sekolah
kami tak semewah sekolah sekolah lain yang menggunakan tenaga listrik dan
terselip kecanggihan teknologi di dalamnya akan berbunyi sesuai waktu yang
telah di atur secara otomatis suaranya pun tak layaknya rongsokan besi tua
bekas potongan rel kereta api melainkan irama lagu lagu kebangsaan yang bisa di
pilih sesuka hati. Sedangkan di sekolah kami, bel hanyalah sebuah besi segi
panjang yang di gantung dengan kawat di depan kelas enam itupun telah berkarat tak
terkecuali alat pemukulnya.
Menjelang pukul 07.00 aku dan kawan kawan laki laki ku akan saling berebut untuk menciptakan suara dari besi
usang itu, hanya siswa kelas 6 saja yang mempunyai kekuasaan atas lonceng tua
itu, entah berapa usianya. siapa yang ter lebih dahulu mengamankan pemukulnya
dialah yang berhak memukul bel itu, teng teng teng teng teng, begitulah kira
kira bunyinya.
Siap grak!!! Lencang depan grak!!
Ketua kelas menyiapkan barisannya Suara itu bersaut sautan dari masing masing
kelas, dari kelas satu hingga kelas enam yang sebagian bangunannya berjejer.
Sejenak memeriksa kerapian lalu kemudian sang ketua kelas mempersilahkan satu
persatu banjar barisan untuk memasuki kelas terlebih dahulu sesuai dengan
kerapian yang berstandarkan oleh kehendak hati dan prinsip kekawanan. Tak ada
referensi aturan yang valid untuk menentukan siapa yang lebih dulu berhak masuk
kelas.
Ahmad medi romli adalah kawan
akrabku sejak aku duduk di kelas satu hingga kami kelas enam, banyak sekali
cerita masa kecil antara kami berdua hingga pagi itu aku merasa kita tak akan
lagi melukiskan cerita di sekolah dasar ini atau bahkan di desa ini. Terdengar
kabar dari bibi ku selepas ujian nasional ayah ku akan menjemputku dan
membawaku ikut bersamanya tinggal di pulau kalimantan di kota samarinda
tepatnya. Saat itu ujian nasional terbilang hanya menunggu beberapa hari saja
tak banyak waktu lagi bagi ku mengisi sisa
waktu dengan kawan kawan. Ku ceritakan kabar ini padanya ia malah senang.
Wahh lulus sd kamu mau ke
kalimantan? Pastilah jauh sekali untuk kesana. Ucapnya.
Menurutnya ini adalah perjalanan
yang luar biasa dan ia pun sebenarnya menginginkan perjalanan macam ini. Sering
kali aku bercerita padanya mengenai perjalanan ayah ku dari kalimantan ke jawa
setiap tahunnya yang ia lakukan dengan menumpangi kapal besar. Dua hari dua
malam berada di atas kapal besar melintasi samudra. Saat itu kami tak begitu
familiar tentang pesawat terbang selain yang hanya kami ketahui adalah hanya
sebagai transportasi para tentara angkatan udara, tidak sebagai transportasi udara
umum. Dan mayoritas orang orang perantauan di desa ku bila pulang kampung dari
tanah rantau mereka selalu menggunakan jasa kapal laut untuk menyebrangi pulau.
Tentu ekonomi sebagai alasan pokoknya, hanya orang orang perantauan yang
mengetahui perihal ini. Selain itu harga tiket pesawat kala itu berselisih jauh
sekali dengan harga tiket kapal laut.
Aku hanya terdiam, bingung tak
tau harus berkata apa walaupun sebenarnya dalam hati ku merekah perasaan
bahagia karena akan segera ke kalimantan hidup bersama ayah setelah bertahun
tahun lamanya hidup jauh darinya. Di satu sisi lain perasaan gelisah pun
melebur dalam hati tatkala aku menyadari bahwa tak banyak lagi waktu yang aku
miliki untuk melalui hari kebersamaan bersama kawan kawan karib ku di sekolah,
di kampung dan meninggalkan kisah kisah kecilku di desa glenmore.
Tak hanya medi yang mengetahui
kepergianku setelah berakhirnya ujian nasional, kawan kawan kelas ku jugalah
mengetahui perihal perpisahan yang sebentar lagi akan terjadi. Bahkan guru guru
ku pun juga demikian tak terkecuali bapak suparyono selaku kepala sekolah dasar
negeri sepanjang 1.
Bu yami guru matematika selalu
saja meledek ku di setiap kami belajar di dalam kelas dalam persiapan menjelang
ujian nasional.
Wah oding sebentar lagi mau jadi
orang kalimantan ya. tersenyum senyum menatapku. Tak ada ekspresi lain selian
hanya ekspresi muka polos, hanya terdiam yang bisa aku berikan.
Medi mengambil sebuah peta
kemudian menunjukkannya pada ku. membentangkan sebuah penggaris di atas peta
kalimantan dan pulau jawa bermaksud mengukur jarak sesungguhnya melalui
penghitungan skala.
Jauh bro,, jauh,, ucap nya. Tanpa
penjelsannya pun aku sudah tau. Ayah ku sendiri menghabiskan waktu tiga hari
dalam melakukan perjalanannya pulang.
pagi itu menjadi pagi yang tak
biasa, seolah menjadi petanda akan firasat yang membolak balikkan perasaan
dalam hati, menerka nerka akan misteri sebuah hari. Apakah gerangan apkah yang
akan terjadi. Hingga waktu mengatakan sesuatu yang kemudian di siang hari kabar
mengenai rencana ayahku membawa ku turut serta hidup di tanah rantau sampai
pada bibiku hingga terdengar di telingaku.
Komentar