Berpindah dari satu kota ke kota lain mengelilingi nusantara Indonesia, pekerjaan ku sungguh mulia. Untuk sebuah alasan yang mereka sebut edukasi tentu tak berlebihan bukan. Mereka memang pandai berdalih.
Terkurung, terkekang, tersiksa. Semua kepedihan itu tak hanya mengikis fisik ku tapi jugalah batin dan kebebasan ku. Mengharap kembalinya sediakala bagai pungguk merindukan bulan. Semenjak aku tertangkap, terjerat oleh keserakahan yang tak berbelas kasih berwujud jaring di rumah terindah ku samudra.
Menangis, terakhir kali nya aku melihat ayah ibu dan keluargaku melalui sela jaring berpuluh kali lipat lebih kuat.
Setiap malam berganti siang, siang berganti malam seorang diri aku hanya menunggu hari, sepi. Malam menanggung kesedihan sementara pagi menanggung penghiburan, keduanya tidak ada yang menyenangkan. Sering kali di jejal dalam box kering sempit lagi sangat menghimpit. Gelap, hanya fatamorgana yang selalu terbayang di kepala, aku merindukan samudra, ayah ibu dan keluarga.
Aku pikir benar samudra, hati ku berbunga bunga, tapi ternyata masih di tempat yang sama. Lagi lagi kolam yang membuat mataku perlahan buta. Samudra, bagi ku kau adalah surga yang di takdirkan sebagai fatamorgana.
Waktu ku telah di tentukan.
Aku rindu suara debur ombak lautan, tapi kini yang ku dengar suara riuh tepukan dan dencak kagum penonton yang mengiringi di setiap aksi ku, riuh sekali sampai sampai membuatku hampir mati. Melompat, menari, menerjang berbagai atraksi aku lakukan agar tak timbul kecewa sebab telah morogoh kocek demi kertas kecil dari loket. Sekalipun sesekali karena letihku kulit ku tersambar api.
Kalian pikir aku hebat? Tentu tidak. Jika kalian pikir dia hebat tentu iya.
Hebat nian, hanya dengan sebuah peluit takhluk takzim aku di buat nya, menolak sebuah perintah sama saja bunuh diri. Sungguh, potongan makanan kecil itu sangat lezat dan berarti bagi kelangsungan hidup ku. Sungguh, hantaman tongkat kayu itu membuatku ngilu sekaligus pilu. Tak kuasa aku menahannya, pedih.
Ada udang di balik batu Aku hanya ingin kalian tau. Bahwa sejatinya edukasi tak pernah merampas kehidupan, kehidupanku. Jangan Kau tukar uang dengan kebodohan dalam kemas pendidikan.
Selalu ku berikan senyum di akhir pertunjukan bahkan kecupan agar terkesan tak ada yang aku korbankan, agar penonton pulang dengan rasa senang. Mereka anggap aku bahagia, sementara mereka tau sehebat apapun aku berusaha, wajah ku tak akan pernah kehilangan senyumnya. Bukan karena aku pandai bersandiwara melainkan raut senyum abadi, itulah anugrah dari sang ilahi. Sebenarnya aku menangis, namun bak air mata yang mengalir di bawah gerimis. Aku mencicit menjerit namun tak sedikitpun peduli terbesit.
Saat kalian mengira esok kan bertemu kembali.
Justru inilah hari terakhir ku.
Jika esok kan bertemu kembali.
Tentu itu bukan aku.
Melainkan sahabat ku yang akan bernasib sama dengan ku.
Waktu ku telah di tentukan.
Demikian seterusnya kecuali mereka berhati nurani, kecuali kalian mengerti.
Dariku lumba lumba malang
Komentar