Langsung ke konten utama

Senja Sendu Di Udara

Hari menjelang gelap saat aku tiba di bandara international juanda. Riak suara para penumpang bangkit dari senyap setelah terdengar suara pilot melalui pengeras suara. “flight attendant, 10 minutes to land”.  Mata mata yang tertutup berangsur terbuka, membenahkan tubuh dari duduknya sekaligus meregangkan punggung. Menyingkap lengan baju, membenahi muka oleh kemungkinan kusut dan liur yang mengalir di dagu. Mereka telah bersiap, sebagian tak sabar telah melepas sabuk pengaman. Namun tidak dengan ku, selama penerbangan berlangsung pikiran maupun mata ku terjaga. berkontemplasi terhadap seorang wanita yang tak hentinya bersemayam di kepala. Telah ku habiskan 1,5 jam penerbanganku hanya untuk melamunkannya mengingat kenang bersamanya. Aku merasa bodoh melakukan hal ini tapi tak di munafikkan pikiranku lah yang berkehendak, rasa ketidak ikhlasan masih bersarang di hati bahkan sepertinya terus berkembang biak. Berkali kali aku menarik nafas panjang hanya untuk melupakannya dan berkontemplasi pada hal lain yang tak kalah penting. Berkontemplasi terhadap masa depan ku, pekerjaan dan pendidikan yang harus segera aku selesaikan. Semenjak masuk kuliah dulu aku telah bertekad akan menyelesaikannya dengan kurun waktu tak lebih dari normalnya tapi berkontemplasi terhadap masa depan bertentangan dengan pantangan liburan ku. Aku telah menjanjikan kemerdekaan pada pikiran ku sebelum berangkat berlibur dan menjarah penghiburan sebanyak mungkin sebagai pengalihan dari sebagian besar kebahagian ku yang telah pupus, tak peduli menjadi kompeni. Wanita itu benar benar membuat sekejap duniaku gelap. Wajahku sembab menatap sayu awan melalui bilik jendela, bayangnya bertebar di mana mana. Masih teringat dalam ingat ku tentang senyumnya tentang suaranya saat memanggil nama ku, saat kita melukis kenang di bawah hujan. Aku tak pernah menyangka akan secepat ini, kau putuskan perpisahan yang tak ku kehendaki. Sesekali tersedu, menimbulkan tanya salah seorang penumpang di sebelah ku. “Masnya kenapa?”. “tak mengapa, mbak” jawabku oleh pertanyaan wanita berbusana syar’i disebelahku sembari mengusap sendu. Usia nya lima tahun lebih tua, ia telah memiliki suami yang duduk tiga deret kursi di depan ku. Anaknya perempuan usia dua setengah tahun, imut sekali satu kursi duduk di sampingku. Berkulit putih cerah, Pipinya yang tembem dan tenggelam oleh jilbab yang di paksakan semakin membuatnya nampak imut menggemaskan. Ya, selain menarik nafas dalam dan panjang sebagai upaya pengalihan kontemplasi terhadap suatu hal menyedihkan itu sesekali aku menggoda anak kecil imut ini. Membelai lembut tangannya yang mungil, membiarkannya bersandar di lengan hingga pandangannya menghilang. Tidur. Ibunya hanya menatap ku tersenyum beraut wajah serba salah. “tak mengapa mbak, biarkan saja dia tidur”.

Pesawat dengan nomor penerbangan JT306 telah terparkir di apron, pelataran tempat parkir pesawat untuk menurun/menaikkan penumpang. Saat aku menatap keluar melalui jendela pesawat, langit telah gelap hanya secercah semburat cahaya ke jinggaan. Azan magrib berkumandang beberapa menit yang lalu. Para penumpang sibuk mengambil barang bawaan di bagasi kabin. Berdesakan, banyak yang tak sabar. Sementara aku masih tak merubah duduk ku pada kursi tepat di bagian sirip pesawat. Meredakan pilu, meredakan kenang meneguhkan hati kemudian aku berdiri. Sebagai lelaki aku tak boleh lemah, hati ku berteguh merekahkan jiwa yang sempat rapuh. Laksamana energi yang kencang memompa darah hingga ke simpul nadi, mengembangkan otot sekujur tubuh. Kokoh tanganku menenteng beban, kokoh kaki ku melangkah menyusuri garbarata. Sebagai penyempurna aku harus segera bersimpuh memohon ampun pada sang khalik memohon harap semua kan baik baik saja di penghujung senja di akhir sendu. Sholat magrib.

Komentar